Cerpen - Tekad Ayna
Tekad Ayna
oleh Rully Christanti
Suasana kelas begitu riuh, ketika siswa kelas IX D menerima hasil Tes Uji Coba atau biasa disingkat dengan TUC yang dilaksanakan sekolah beberapa minggu lalu.
Sebagian dari mereka merasa bangga dengan nilai yang mereka dapatkan, ada pula yang merasa sedih saat mengetahui nilai hasil TUC-nya tak sesuai dengan harapan yang dinginkan.
Sama halnya dengan Ayna saat ini, dia hanya duduk termenung di bangkunya sembari melihat lembaran kertas yang bertuliskan nilai hasil TUC-nya. Mengenaskan sekali bagi Ayna, kenapa hasilnya tak pernah memuaskan dirinya?
"Eh Ay, berapa nilai lo? Coba sini gue liat," ucap Milla sambil merebut kertas hasil nilainya.
Sebut saja dia Milla, nama lengkapnya adalah Camilla Abela. Dia adalah sahabat sekelas Ayna, tetapi Ayna tidak terlalu senang dengan sikap Milla. Gadis itu adalah salah satu siswa dari kelas IX D yang memiliki kepintaran luar biasa.
Namun di balik kepintaran Milla, dia memiliki sisi buruk yang tidak disukai oleh teman sekelasnya. Milla adalah pribadi yang sombong, dia selalu memamerkan nilai tinggi yang diraihnya kepada teman - temannya. Tidak hanya itu, Milla selalu mengejek temannya yang sering mendapatkan nilai rendah.
"Haha cuman dapet rata - rata tujuh lo?" Milla tertawa keras ketika melihat nilai yang diraih Ayna.
"Lihat nih nilai gue, dapet rata - rata sembilan dong," ucapnya kembali.
Ayna hanya bisa menundukkan kepalanya, ia sudah biasa mendapatkan ejekan dari Milla. Tapi semua ejekan Milla kepadanya, membuat Ayna merasa putus asa dengan semua usahanya.
"Perasaan lo selalu belajar, tiap istirahat lo selalu milih ngabisin waktu buat baca buku di kelas. Tapi? Apa hasilnya? Nilai lo aja selalu pas pas-an. Hahahaha...." Milla kembali mengejek Ayna.
"Sok - sok an sibuk belajar lo," lanjutnya lalu pergi meninggalkan Ayna.
Devi yang duduk bersebelahan dengan Ayna pun menepuk pundak Ayna, "Sabar ya Ay, kita semua udah biasa sama sikap Milla yang seperti itu. Nggak usah didengerin apa yang dibilang Milla barusan ya."
"Makasih ya Dev," jawab Ayna tersenyum.
"Sama - sama Ay, udah jangan sedih ya. Apapun itu hasilnya, yang terpenting kamu udah berusaha sekeras mungkin," ucap Devi menguatkan Ayna.
"Iya Dev, sekali lagi aku makasih banget sama kamu."
Kini waktu menunjukkan pukul tiga sore, waktu untuk pulang sekolah pun tiba saatnya.
Ayna beranjak dari duduknya, ia berjalan menyusuri koridor kelas. Melangkahkan kakinya menuju depan sekolah untuk menunggu seseorang yang menjemputnya.
Hari sekolah Ayna selalu di antar jemput oleh kakaknya. Padahal Ayna sudah sering meminta kepada kakaknya untuk tidak mengantar dan menjemputnya sekolah, namun kakaknya itu terus memaksanya. Apa boleh buat? Ayna sebagai adik hanya bisa menuruti kakaknya.
Tak lama kakaknya pun datang menjemputnya, dengan segera Ayna menunggangi motor yang dikendarai oleh kakaknya. Lalu mereka berdua melakukan perjalanan untuk pulang kerumah.
Setibanya di rumah, Ayna dengan cepat melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Ingin rasanya ia menyendiri di dalam kamar, merutuki nasibnya yang sangat menyedihkan baginya.
"Adik kamu kenapa Dim?" Tanya Nia ibu Ayna ketika melihat putrinya masuk kedalam rumah tanpa menyapa, kemudian berlari begitu saja menuju kamarnya.
"Dimas kurang tau, coba nanti Dimas samperin Ayna di kamarnya ya bu."
"Iya Dim, ibu takutnya Ayna lagi ada masalah. Jadinya Ayna bertingkah seperti itu, kamu tau sendiri kan adik kamu gimana anaknya."
"Iya bu, Dimas juga tau kok."
"Ya sudah, ibu mau melanjutkan masak."
Setelah ibunya meninggalkan Dimas yang masih berada di ruang tamu, laki - laki tersebut memilih untuk menghampiri Ayna di kamarnya. Ia ingin memastikan jika adiknya itu sedang baik - baik saja.
Ceklek
Dimas membuka pintu kamar adiknya dengan sangat hati - hati. Dilihatnya Ayna sedang menangis tersedu-sedu, adiknya tak henti - hentinya menatap selembar kertas yang Dimas tak mengerti kertas apa itu.
"Ayna.." Dimas berjalan mendekati Ayna.
"Ayna lagi pingin sendiri kak," jawabnya lirih.
Namun Dimas tak ingin meninggalkan adiknya walaupun Ayna menyuruhnya untuk keluar, "Kak Dimas temenin Ayna dikamar ya. Kalau Ayna ada masalah, kamu boleh lho cerita sama kakak. Siapa tau kakak bisa bantu kamu."
Ayna mengelap pipinya yang basah, sepertinya ia harus bercerita dengan kakaknya. Ia tidak bisa terus menerus memendam masalah seperti ini.
"Kak.."
"Iya Ay."
"Ayna capek kak, semua usaha Ayna selalu gagal." Ayna mulai membuka suara.
"Setiap ada ujian, ataupun ulangan dan lainnya Ayna selalu gagal kak. Kenapa ya kak? Padahal tiap hari Ayna selalu belajar dengan sungguh-sungguh. Tapi kenapa hasilnya nggak pernah bikin Ayna merasa puas?"
Dimas hanya melihat wajah adiknya itu sambil memasang kedua telinganya untuk setia mendengarkan adiknya saat mengungkapkan keluh kesahnya.
"Kakak kenal Milla kan?"
Dimas menganggukkan kepalanya, memang kenyataannya Dimas kenal dengan Milla. Bahkan dia sudah paham dengan sikap Milla yang seperti apa dengan adiknya.
"Dia mengejekku lagi kak." Ayna menundukkan kepalanya.
"Hari ini hasil TUC Ayna keluar, dan kakak tau nggak? Ayna cuman dapet nilai dengan rata - rata tujuh. Ayna emang beda ya kak sama Milla. Milla emang pintar, nggak kaya Ayna yang bodoh seperti ini."
"Ayna, siapa yang ngajarin kamu bilang kaya gitu?" Tanya Dimas dengan nada yang sedikit tinggi.
"Ayna pingin kaya Milla kak, bukan berarti Ayna pingin jadi sombong juga. Tapi Ayna pingin pintar seperti Milla kak," ucapnya tanpa menghiraukan pertanyaan kakaknya barusan.
"Untuk memiliki apa yang kamu inginkan, kamu nggak perlu menjadi seperti orang lain Ay. Kemampuan setiap orang itu berbeda, nggak ada yang sempurna di dunia ini Ay. Kamu harus bangga dengan diri kamu sendiri, dan yang terpenting adalah tetap menjadi diri sendiri," jelas Dimas.
"Anggap saja ejekan dari Milla itu sebagai pembelajaran untuk kamu. Seharusnya kamu semangat, tunjukan ke Milla kalau kamu itu bisa," lanjutnya.
"Tapi kak, Ayna pingin dapat nilai sekolah yang selalu bagus. Ayna pingin jadi anak yang sukses nantinya kak," ucap Ayna lirih.
"Ay.. Kakak kasih tau ya, nilai itu nggak akan menjamin kesuksesan kamu nantinya. Dulu kakak juga kaya kamu kok, nilai kakak selalu pas pas-an. Tapi kakak tetap berusaha sebisa mungkin, dan kakak nggak pernah merasa capek. Justru kakak tersadar kalau seharusnya kakak harus lebih semangat."
Dimas memegang kedua bahu adiknya, "Ay, sukses itu berawal dari usaha kita Ay. Kakak tau, kalau tiap hari kamu selalu rajin belajar, dan kakak percaya kamu akan menjadi orang yang sukses di masa depan. Usaha kamu enggak akan mengkhianati hasil Ay."
Ayna tersenyum haru kepada kakaknya, ia merasa bersyukur mempunyai seorang kakak yang selalu mengerti keadaannya.
"Kak Dimas.."
"Kenapa?"
"Makasih udah mau dengerin Ayna cerita, Ayna sekarang udah merasa sedikit lega karena kakak."
Sekarang Ayna sadar, tak perlu menjadi seperti orang lain untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.
Ia pikir dengan mendapatkan nilai yang bagus pastinya ia akan menjadi orang yang sukses nantinya. Ternyata tidak semudah itu, Ayna hanya perlu berusaha lebih dan memiliki tekad yang kuat demi masa depannya.
SELESAI
Komentar
Posting Komentar